Minggu, 01 Agustus 2010

Kembali kepada Manhaj Para Sahabat dan Pengikutnya

Ditulis Oleh DR. Ahmad Zain An-Najah, M.A
Monday, 16 June 2008

1. Ajaran Islam pada hari ini sudah banyak tercampur dengan kebathilan, sehingga banyak dari umat Islam yang tidak bisa memahami ajaran Islam yang sebenarnya.
2. Untuk membersihkan kembali ajaran Islam tersebut, maka di perlukan kaidah- kaidah yang berdasarkan Al Quran dan Sunnah, sehingga umat Islam bisa merujuk kepadanya ketika di perlukan.
3. Kaidah tersebut terkristal di dalam “ pemahaman Rosul dan para sahabat serta para pengikutnya “

قل هذه سبيلي أدعو إلى الله على بصيرة أنا ومن اتبعني وسبحان الله وما أنا من المشركين ( يوسف : 108 )

عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين تمسكوا بها عضوا عليها بالنواجذ

خير الناس قرني ثم الذين يلونهم، ثم الذين يلونهم ثم الذين يلونهم ( متفق عليه )

ستفترق أمتي على ثلاث وسبعين فرقة كلها في النار إلا واحدة ( ما أنا عليه وأصحابي )

1. Beberapa latar belakang untuk mengambil manhaj tersebut :

* Allah telah meridhoi generasi sahabat ( lihat QS.At Taubah : 100, Al Fath : 18 )
* Mereka para sahabat telah di janjikan Allah syurga :

لا يستوي منكم من أنفق من قبل الفتح وقاتل ، أولئك أعظم درجة من الذين أنفقوا من بعد

وقاتلوا وكلا وعد الله الحسنى ( الحديد : 10 )

“Al husna”di dalam ayat tersebut menurut mufassirin adalah syurga

* Kita di larang untuk dengki dan benci terhadap mereka ( QS. Al Hasyr : 8- 10 )

ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بالإيمان ولا تجعل في قلوبنا غلا للذين آمنوا ( الحشر10)

* Kita di larang untuk mencaci mereka

(لا تسبوا أحدا من أصحابي فلو أحدكم أنفق مثل أحد ذهبا ما أدرك مد أحدهم ولا نصيفه ) متفق عليه

* Ibnu Mas’ud berkata : “ Barang siapa yang ingin mengambil contoh suri tauladan, hendaklah mengambil para tokoh yang telah meninggal dunia, sesungguhnya orang yang masih hidup kemungkinan masih bisa terkena fitnah, merekalah para sahabat Muhammad saw, merekalah sebaik- baik umat , yang paling bersih hatinya, ilmunya paling mendalam, paling sedikit takkalufnya / tdk bertele-tele. Allah telah memilih mereka untuk menjadi sahabat nabi-Nya, untuk menegakkan agama-Nya, maka carilah fadhilah mereka, ikutlah atsar mereka, pegang eratlah akhlak dan agama mereka, karena sesunguhnya mereka berada pada jalan yang lurus
* Berkata Imam Thohawi : “ Mencintai para sahabat termasuk bagian dari ajaran agama , Iman, dan Ihsan sedang membenci mereka termasuk bagian dari kekafiran , kenifakan dan perbuatan yang melampaui batas “ ( Syarh Thohawiyah ; 2/689 )

1. Beberapa contoh manhaj sahabat yang patut kita terapkan di dalam kehidupan kontemporer :

· a.sebagaimana yg di katakan Ibnu Mas’ud kepada para sahabatnya : ( Bahwa engkau kini berada pada zaman yang banyak fuqoha’nya sedikit qurro’nya, di jaga di dalamnya hukum-hukum Al Quran, walau kadang terlepas hurufnya, sedikit yang minta-minta , banyak yang memberi, yang memanjangkan sholat dan memendekkan khutbah, yang mendahulukan amalnya sebelum hawanafsunya, Dan akan datang nanti sebuah generasi yang sedikit fuqoha’nya , banyak sekali quroo’nya, diperhatikan bacaan Al Qur’an-nya tapi di langgar hukum- hukumnya., banyak yang minta2 sedikit yang memberi, banyak yang bicara, pendek-pendek sholat mereka , mendahulukan hawa nafsunya atas amalannya )

· b. mereka mencukupkan diri hanya dengan apa yang ada di dalam Al Quran dan Hadits. sikap mereka dengan Al Quran dan Hadits seperti sikap seorang prajurit yang menerima perintah dari komandannya

· c. menuntut ilmu untukdi amalkan , dalam atsar di sebutkan : “ Kami (para sahabat), jika belajar 10 ayat dari Al Quran, kemudian berhenti untuk di amalkan”



PENERAPAN MANHAJ SAHABAT DI DALAM DUNIA KONTEMPORER.

1. Manhaj dakwah : menekankan kepada Tashihul Aqidah terlebih dahulu, Dasa-dasar nya : Prioritas dakwah para nabi adalah tauhid ( Qs. Al Abinya’ : 25 )

وما أرسلنا من قبلك من رسول إلا نوحي إليه أنه لا إله إلا أنا فاعبدون

Dakwah nabi saw, selama 13 tahun di Mekkah, menekankan kepada tauhid

حديث معاذ : ( فليكن أول ما تدعوهم شهادة أن لا أله إلا الله ) متفق عليه

1. Menekankan kepada ilmu dan amal (lihat Qs Al Fatihah) bahwa orang Yahudi dimurkai Allah karena berilmu tanpa amal, sedang Nasroni sesat karena beramal tanpa ilmu,( lihat juga QS. Yusuf 108 )
2. Menyakini bahwa hakikat kemenangan bukanlah dengan kekuasaan dan banyaknya pengikut, akan tetapi hakekat kemenangan adalah menangnya aqidah diatas hawa nafsu, istiqomah di dalam jalan yang benar , walau sedikit pengikut. Beberapa landasannya :

· a/ Kisah para nabi

· b/( QS Al Buruj ) Kisah Ashabul Ukhdud ( mereka mati di bakar, akan tetapi Allah memuji keteguhan iman mereka)

· c/.QS. Az Zukruf : 41-43 فاستمسك بالذي أوحى إليك إنك على صراط مستقيم

Yang paling ditekankan dalam ayat ini adalah “ memegang teguh apa yg telah di wahyukan oleh Allah, adapun keberhasilan dakwah itu adalah urusan Allah .

· d/Hadist Ukasyah yg menyebutkan bahwa Rosulullah dalam mimpinya di nampakkan seorang nabi bersama 10 pengikutnya dan nabi bersamanya 1 atau 2 pengikut dan nabi yang tdk ada pengikutnya…dst.

1. Referensi dan rujukan utama : adalah para ulama yang komitmen dengan Islam dan mu’tabar dalam keilmuannya , sejak zaman sahabat, tabi’in, para fuqoha, hingga hari ini. Dasar- dasarnya, adalah : QS. An Nisa :115

ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غير سبيل المؤمنين نوله ما تولى

Sabilul mukminin adalah jalan dan manhajnya ulama-ulama mukminin.

فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون ( الأنبياء : 7 )

Ayat diatas menunjukkan kewajiban umat Islam mengembalikan permasalahan kepada para Ahli Dzikir ( para ulama ) , lihat juga QS. Fathir : 28.

Di dalam hadits di sebutkan bahwa para ulama adalah pewaris para nabi

Dan tiada yang wajib di taati secara syar’I kecuali mereka. ( QS. An Nisa: 59)

يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله و أطيعوا الرسول و أولي الأمر منكم

Ulil Amri dalam ayat tersebut mempunyai 2 arti : para pemimpin dan para ulama. Seorang pemimpin pun di dalam kepemimpinannya harus merujuk pada ulama. ( lihat makalah ; mengembalikan peran ulama., dalam majalah “ Al Mitsaq “ , edisi : 11 )

Rujukan ini kita pegang dikala hilangnya Khilafah Islamiyah dan terpecahnya umat Islam.

1. Dalam menghadapi perbedaan pendapat —–> Menghormati pendapat orang lain dari golongan mana saja, selama mempunyai landasan syar’I yang mu’tabar ( khususnya dalam masalah furu’ fiqhiyah dan masalah-masalah ijitihadiyah dakwiyah kontemporer ) ( dasar-dasarnya : peristiwa yg menyebutkan perselisahan antara para sahabat , Abu Bakar dan Umar, perang Ahzab, perang shiffin dll)
2. Berkeyakinan bahwa setiap orang mempunyai kelebihan dan kekurangan, pendapatnya bisa diterima dan ditolak sesuasai dalil syari’I, kecuali nabi Muhammad saw. Dan tidak fanatik terhadap seorang syekh atau pemimpin atau suatu kelompok. Imam Malik berkata : “ semua orang , pendapatnya bisa diterima dan ditolak kecuali yang ada di kuburan ini( maksudnya Rosulullah saw ) “
3. Berkeyakinan bahwa setiap kelompok dan jama’ah mempunyai kelebihan dan kekurangan, tidak ada yang maksum kecuali jama’ahnya para sahabat ra. , hal itu karena Ijma’ para sahabat adalah hujjah, yang harus diambil oleh setiap muslim. Maka harus ditekankan kerja sama yang sehat, menghindari perpecahan dan menjauhi sikap saling tuduh menuduh —-> وتعاونوا على البر و التقوى ( المائدة : 2 )

Karena penyatuan kekuatan kaum muslimin merupakan bagian ajaran

yang Islam yang sangat mendasar.

1. Memberikan kebebasan pada setiap muslim untuk melaksanakan agamanya sesuai kemampuan dan pemahaman yang berlandasakan ilmu syar’i atau dalam kerangka ilmiyah .
2. Menghindari tekanan, doktrin dan propaganda untuk memperbanyak pengikut, karena Islam memerintahkan umatnya untuk melaksanakan ajarannya dengan ilmu dan kesadaran , bukan dengan penekanan, doktrin serta propaganda serta pemaksaan .( Qs. Yusuf : 108 )

قل هذه سبيلي أدعو إلى الله على بصيرة أنا ومن اتبعني

1. Bersifat terbuka sebagaimana terbukanya Islam bagi seluruh manusia dan siap berdiskusi dan membicarakan masalah – masalah keislamaan.
2. Menolak segala firqoh-firqah sesat ( Mu’tazilah, Murjiah, Syiah, Khowarij, Jabariyah, Qodariyah, Jahmiyah, Mu’athilah, Musyabihah, Ahmadiyah, Bathiniyah, Sufiah dll) dan madzab- madzab sesat kontemporer ( Zeonisme, Nasionalisme, Kapitalisme, Sosialisme, Liberalisme, Demokrasi, Theokrasi, dll )



Garis besar dari pembahasan di atas bisa di lihat skema dari (QS Yusuf;10 8) :

قل هذه سبيلي —–> menunjukkan bahwa jalan dakwah ini jelas, tidak tertutup dan tidak eklusif, untuk semua kalangan .

أدعو إلى الله —–> kita mengajak orang kepada ajaran Islam, bukan pada suatu jama’ah, kelompok, maupun partai. (larangan ta’asub pada suatu kelompok dan pemimpin ) .

على بصيرة dakwah ini berdasarkan ilmu, kesadaran, bukan doktrin,

propaganda dan tekanan. ( penekanan pada ilmu syar’I )

أنا ومن اتبعني menunjukkan bahwa manhaj yang di pakai adalah manhaj

pengikut Rosulullah saw( yaitu para sahabat dan pengikutnya) , juga menganjurkan untuk saling kerja sama, berjama’ah untuk

menegakkan dakwah ini.

وسبحان الله وما أنا من المشركين—–> prioritas dakwah adalah pembinaan aqidah dahulu. an hakikat kemenangan adalah kemenangan aqidah diatas hawa

nafsu, tercapainya peribadatan hanya kepada Allah saja.



* Makalah ini di presentasikan pada hari raya Idul Fitri 2 Syawal 1423 H di KSH ( Kelompok Study Al Hanif ) , Rob’ah , Kairo

sumber :www.ahmadzain.com/

Kamis, 17 Juni 2010

Indahnya mencari Ilmu



Kelebihan seorang alim (ilmuwan) terhadap seorang 'abid (ahli ibadah) ibarat bulan purnama terhadap seluruh bintang. (HR. Abu Dawud )
Kata orang orang,,setiap sesuatu tuh kudu ada ilmunya,,Dari urusan mandi sampe  urusan urusan laennya.Masak Mie rebus juga ada Ilmunya,ga sembarangan kalau kelamaan di rebus bisa bisa jadi bubur bro..Begitu juga dalam menjalani kehidupan ini diperlukan Ilmu yang bisa mengantarkan kita kepada kebaikan dan kebenaran.
Sejatinya sih kita sebagai manusia wajib dalam mencari ilmu,mau itu masih bocah,mas mas ,mba mba,atau barangkali yang uda bangkotan(he..he..) pun tetep wajib.Kenapa? karena Rosulullah memerintahkan demikian..
Menuntut ilmu wajib atas tiap muslim (baik muslimin maupun muslimah). (HR. Ibnu Majah)
Ilmu yang bermanfaat adalah Ilmu yang mengantarkan kita dekat kepada Allah ,ya terserah mau bentuknya apa,,baik yang Duniawi maupun Ukhrawi,asal tidak bertentangan dengan syariat.
Dalam mencari ilmu pun kita harus meluruskan niat tentunya hanya kepada Allah aja.Yang laen laen ga usah diniatin.Apalagi jika niat kita hanya untuk memperdebatkan sesuatu  ilmu,ih ga ada manfaatnya dah..
Ulama ulama jaman baheula (dulu)kalo dia ingin mencari ilmu sampe ngebela belain pergi keluar Negeri,sampe rela ngehabisin hartanya fi sabilillah .Bahkan Imam Ahmad pernah rela pergi keluar Negerinya hanya buat denger Hadist dari sumbernya,,subhanalloh..
Seorang penulis berkata                                                                                               
“Kebahagiaan,Kedamaian,dan ketentraman hati senantiaSA berawal dari ilmu pengetahuan,Itu terjadi karena Ilmu pengetahuan menembus hal yang samar,menemukan sesuatu yang hilang,dan menyingkapkan yang tersembunyi.Selain itu,naluri dari  jiwa manusia itu dalah selalu menegtahui hal hal yang baru dan ingin mengungkap sesuatu yang menarik”.(Dr.Aidh Al qorni dalam bukunya La Tahzan.qisthi press)
Indahnya mencari ilmu dalah ketika kita memahaminya dengan baik dan diberi kekuatan olehNya untuk mengamalkannya.Kemudian kita semakin mengenal hakikat diri kita sebenarnya siapa kita,dari mana kita ,dan akan kemana kita akan pergi.
Indahnya mencari ilmu adalah ketika persoalan persoalan yang meresahkan hati mu terjawab.Kemudian berganti dengan kemudahan kemudahan.Karena pada dasarnya Syariat itu mudah dan memudahkan
Thaahaa. Kami tidak menurunkan Al Qur'an ini kepadamu agar kamu menjadi susah (qs.thoha:1-2)
Aku diutus dengan kelurusan dan kelapangan (Al hadist)

Indahnya mencari Ilmu adalah ketika dirimu sadar bahwa sebenarnya kita ini miskin ilmu.Masih ada orang orang hebat diluar sana tapi mereka tidak menampakan jati diri mereka,mungkin menjaga agar tidak riya.Tentunya mereka lebih baik Dibanding dengan orang pura pura pandai,banyak bicara dan sombong terhadap kebenaran.Sehingga merasa cukup dengan ilmu mereka.Merasa banyak ilmu,tapi yang sebenarnya terjadi adalah prasangka saja,Ya Allah lindungi kami dari sifat ini. Seorang penyair berkata,
Katakanlah kepada orang yang merasa banyak Ilmu
Engkau Tahu satu Hal
Tapi banyak hal yang engkau tidak tahu
Mungkin ada sebagian orang yang berkata “kan yang penting implementasii! Kalo ga da implementasi sama aja bohong!..”.Sebenarnya ucapan mereka ini ga sepenuhnya salah dan ga spenuhnya benar juga.Sebab ,implementasi adalah pembuktian klo ilmu itu brmanfaat bagi dia atau tidak dan implementasi yang benar adalah yang berangkat dari ilmu yang benar pula.Jika implementasi nya mau dianggap benar,maka ilmunya pun harus benar.Al ilmu qobla qoul wal amal.
Dalam mencari ilmu pun kita harus utamakan merujuk kepada Ahlinya,sebab sesuatu pun ada ahlinya.Konyol bin banyol  kalo kita tanya masalah kebobrokan Birokrasi dan kaitannya dengan demokrasi  ama yang Ahli nuklir.,teu nyambung pisan jang..,,Kenapa? Karena si Ahli nuklir tadi ga punya ilmunya dan tidak ahli dalam masalah itu.
Oleh karena itu…Wahai saudaraku janganlah mau jadi orang yang biasa biasa aja.Jangan mau menjadi orang bodoh dan di bodohi.Mari kita keluar dari ke jahiliyahan berfikir.Disekitar kita masih banyak yang bisa diambil pelajaran.Jadikan Rosulullah,sahabat,tabiin sebagai tokoh panutan yang utama ,sebab mereka juga bukan ahli agama saja,,tapi ahli politik,perang,ekonomi,,birokrasi dsb..
Siapkan lah dirimu menjadi seorang penuntut ilmu, dan mintalah kepada Allah agar diberi pemahaman yang benar..karena hanya Allah saja lah sang pemilik kebenaran.Sedangkan kita hanya berikhtiar.Seorang penyair berkata,
Jadilah engkau orang yang kakinya berada di bawah
Namun cita citanya menggantung di langit
Akhirnya marilah kita sama sama berdoa kepada Allah agar dipahamkan olehNya diri kita tentang dien ,Allahuma faqihu fiddien,,Allahumma faqihu fiddien….
Sedikit ilmu lebih baik dari banyak ibadah. Cukup bagi seorang pengetahuan fiqihnya jika dia mampu beribadah kepada Allah (dengan baik) dan cukup bodoh bila seorang merasa bangga (ujub) dengan pendapatnya sendiri. (HR. Ath-Thabrani).Wallahu a’lam bi showab..

Minggu, 13 Juni 2010

Menjalin Ukhuwah

Orang Islam karena imannya tidak mencintai ketika ia harus mencintai melainkan karena Allah Ta‘ala, dan tidak membenci ketika ia harus membenci melainkan karena Allah Ta‘ala, karena ia tidak mencintai kecuali apa yang dicintai Allah Ta‘ala dan Rasul-Nya, dan ia tidak membenci kecuali apa yang dibenci Allah Ta‘ala dan Rasul-Nya. Jadi, orang Muslim mencintai karena Allah dan Rasul-Nya, dan membenci karena keduanya. Dalilnya ialah sabda Rasulullah saw.,

"Barangsiapa mencintai karena Allah, membenci karena Allah, memberi karena Allah, dan menahan pemberian karena Allah, sungguh ía telah rnenyempurnakan imannya." (Diriwayatkan Abu Daud).

Berangkat dan perspektif inilah, orang Muslim mencintai seluruh hamba-hamba Allah Ta‘ala yang shalih, ia berikan loyalitasnya kepada mereka, membenci seluruh hamba-hamba-Nya yang fasik, dan memusuhi mereka. Ini tidak menghalangi orang Muslim untuk menjadikan sahabat-sahabatnya sebagai saudara-saudara karena Allah, dan ia beri cinta khusus kepada mereka, sebab Rasulullah saw. menganjurkan menjadikan teman-teman yang baik sebagai saudara-saudara karena Allah Ta‘ala dengan sabda-sabdanya, seperti sabda-sabdanya berikut ini:

Sabda Rasulullah saw.,

"Orang Mukmin itu jinak dan bisa dijinakkan. Tidak ada kebaikan pada orang yang tidak jinak, dan tidak bisa dijinakkan." (Diriwayatkan Ahmad, Ath-Thabrani, dan Al-Hakim yang meng-shahih-kannya).

"Sesungguhnya di sekitar Arasy terdapat mimbar-mimbar dari cahaya, dan di atas mimbar-mimbar tersebut terdapat orang-orang di mana pakaian mereka adalah cahaya, dan wajah mereka adalah cahaya. Mereka bukan nabi, dan bukan pula syuhada'. Para nabi, dan syuhada' iri kepada mereka." Ditanyakan kepada Rasulullah saw., "Wahai Rasulullah, sebutkan sifat-sifat mereka kepada kita."  Rasulullah saw. bersabda, "Mereka saling mencintai karena Allah, saling duduk karena Allah, dan saling mengunjungi karena Allah." (Diriwayatkan An-Nasai. Hadits ini shahih).

"Sesungguhnya Allah Ta‘ala berfirman, ‘Kecintaan-Ku berhak dimiliki orang-orang yang saling berkunjung karena-Ku. Kecintaan-Ku berhak dimiliki orang-orang yang saling menolong karena-Ku'." (Diriwayatkan Ahmad dan Al-Hakim yang men-shahih-kannya).

"Ada tujuh orang yang dilindungi Allah di bawah lindungan-Nya pada hari tidak ada lindungan kecuali lindungan-Nya: (1) pemimpin yang adil, (2) pemuda yang besar dalam ibadah kepada Allah Ta'ala, (3) orang yang hatinya menyatu dengan masjid, (4) dua orang yang saling mencintai karena Allah, keduanya bertemu karena-Nya dan berpisah karena-Nya, (5) orang yang menyendiri berdzikir kepada Allah kemudian matanya mengucurkan airmata, (6) orang yang diajak oleh wanita yang berketurunan baik dan cantik kemudian ia berkata, ‘Aku takut kepada Allah Ta‘ala, (7) dan orang yang bersedekah dengan sedekah kemudian ia merahasiakannya hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan tangan kanannya." (Diriwayatkan Al-Bukhari).

"Seseorang berkunjung kepada saudaranya di desa lain, kemudian Allah menyuruh malaikat untuk berjalan mengikutinya. Ketika malaikat tersebut bertemu dengan orang tersebut, ia bertanya, ‘Engkau akan pergi kemana?' Orang tersebut menjawab, ‘Aku ingin mengunjungi saudaraku di desa ini?' Malaikat bertanya, ‘Apakah karena nikmat yang ingin engkau dapatkan?' Orang tersebut menjawab, ‘Tidak, hanya saja aku mencintai saudaraku tersebut karena Allah.' Malaikat berkata, ‘Aku adalah utusan Allah kepadamu untuk mengatakan kepadamu bahwa Allah mencintaimu sebagaimana engkau mencintai saudaramu tersebut'." (Diriwayatkan Muslim).

Syarat ukhuwwah (persaudaraan) ialah harus karena Allah Ta‘ala, dan di jalan-Nya, dalam arti kata, bersih dari ikatan-ikatan dunia dan materi, serta motivasinya ialah iman kepada Allah Ta ‘ala, dan bukan yang lain.

Adapun ciri-ciri orang yang harus dijadikan sebagai saudara ialah sebagai berikut:

1. Ia berakal, karena tidak baik bersaudara, atau bersahabat dengan orang yang kurang waras.

2. Ia berakhlak mulia, sebab orang yang amoral kendati ia berakal, namun bisa saja ia dikalahkan syahwat, dan emosi mendominasinya, akibatnya ia berbuat jahat kepada orang lain.

3. Ia bertakwa, karena orang fasik yang tidak taat kepada Tuhannya itu tidak bisa dipercaya, sebab tidak tertutup kemungkinan ia berbuat jahat terhadap saudara tanpa memperdulikan persaudaraan, dan lain sebagainya, karena orang yang tidak takut Allah Ta ‘ala itu tidak takut kepada selain Allah dalam kondisi apa pun.

4. Ia berpegang teguh kepada Al-Qur'an dan As-Sunnah, jauh dari khurafat, dan bid'ah, sebab akibat buruk pelaku bid'ah itu menimpa temannya, dan karena pelaku bid'ah dan penurut hawa nafsu itu harus ditinggalkan dan diembargo, maka bagaimana mungkin menjadikan keduanya sebagai saudara, atau sahabat karib? Salah seorang dan orang-orang shalih menasihati anaknya untuk menyeleksi teman-temannya, "Anakku, jika engkau ingin bergaul dengan orang-orang, maka bergaullah dengan orang yang jika engkau mengabdi kepadanya maka ia melindungimu, jika engkau bergaul dengannya maka ia menghiasimu, dan jika perbekalanmu habis maka dia  memberikan perbekalan kepadamu. Bergaullah dengan orang yang jika engkau menyodorkan tanganmu dengan kebaikan maka ia juga menyodorkan tangannya, jika ia melihat kebaikan padamu maka ia menghitungnya, dan jika ia melihat kesalahan padamu maka ia menutupnya. Bergaullah dengan orang yang jika engkau meminta kepadanya maka ia memberi apa yang engkau minta. Bergaullah dengan orang yang jika engkau berkata maka ia membenarkan ucapanmu, jika engkau berdua ingin mendapatkan sesuatu maka ia mengangkatmu sebagai ketua, dan jika engkau berdua memperebutkan sesuatu maka ia mengutamakanmu."

Hak-hak Ukhuwah (Persaudaraan)

Di antara hak-hak ukhuwah (persaudaraan) ialah sebagai berikut:

1. Membantu dengan dana. Setiap saudara harus membantu saudaranya dengan dana jika saudaranya memerlukannya. Dalam arti bahwa uang keduanya adalah uang bersama, seperti diriwayatkan Abu Hurairah ra bahwa ia didatangi seseorang yang kemudian berkata, "Aku ingin bersaudara denganmu karena Allah, tahukah engkau apa hak persaudaraan?" Abu Hurairah berkata, "Tolong jelaskah hak persaudaraan kepadaku." Orang tersebut berkata, "Engkau tidak merasa lebih berhak atas dinarmu, dan dirhammu daripada aku." Abu Hurairah berkata, "Aku belum bisa sampai pada tingkatan itu." Orang tersebut berkata, "Kalau begitu, pergilah engkau dari sini."

2. Masing-masing dari dua orang yang bersaudara harus membantu saudaranya dalam memenuhi kebutuhannya, mengutamakan saudaranya daripada dirinya sendiri, memeriksa kondisi saudaranya sebagaimana ia memeriksa kondisi dirinya, lebih mengutamakan saudaranya daripada dirinya sendiri atau keluarganya atau anak-anaknya, menanyakannya dalam setiap tiga hari. Jika saudaranya sakit maka ia menjenguknya, jika saudaranya mengalami kesulitan maka ia membantu meringankannya, jika saudaranya lupa maka ia mengingatkannya, menyambutnya dengan hangat jika saudaranya mendekat, memberi tempat yang luas jika saudaranya ingin duduk, dan mendengarkan dengan senius jika saudaranya berbicara.

3. Menjaga lisan dengan tidak membeberkan aib saudaranya baik sepengetahuan maupun tanpa sepengetahuannya, tidak membongkar rahasianya, dan tidak berusaha mengetahui rahasia-rahasia diri saudaranya. Jika ia melihat saudaranya di salah satu jalan untuk satu kebutuhan, maka ia tidak menyuruhnya menyebutkan kebutuhannya tersebut, dan tidak berusaha mengetahui sumbernya. Ia menyuruhnya kepada kebaikan dengan lemah-lembut, melarangnya dari kemungkaran dengan lemah-lembut, tidak membantah ucapannya, tidak mendebatnya dengan kebenaran atau kebatilan, tidak mengecamnya dalam satu urusan pun, dan tidak menyalahkan perbuatannya.

4. Memberi sesuatu yang dicintai saudaranya dan lisannya dengan memanggilnya dengan nama yang paling ia sukai, menyebutkan kebaikannya tanpa sepengetahuannya atau di depannya, menyampaikan pujian orang kepadanya sebagai bentuk keiriannya kepadanya dan kebahagiaannya dengannya, tidak menasihati berjam-jam hingga membuatnya gerah, dan tidak menasihati di depan umum karena hal mi mencemarkan nama baiknya. Imam Syafi'i Rahimahullah berkata, "Barangsiapa menasihati saudaranya secara rahasia, sungguh ia telah menasihatinya dengan baik, dan menghiasinya. Dan barangsiapa menasihati saudaranya dengan terang-terangan, sungguh ia telah mencemarkan nama baiknya."

5. Memaafkan kesalahannya, tidak mengambil pusing dengan kekeliruan-kekeliruannya, menutup aib-aibnya, berbaik sangka kepadanya, jika saudaranya berbuat maksiat dengan diam-diam atau terang terangan maka ia tidak memutus persaudaraan dengannya, tidak membatalkan persaudaraannya, namun ia tetap menunggu taubatnya. Jika saudaranya tetap bertahan berbuat maksiat, ia boleh memutus persaudaraan dengannya, atau tetap mempertahankan persaudaraan dengannya dengan memberikan nasihat kepadanya, dan terus mengingatkannya dengan harapan saudaranya bertaubat, kemudian Allah Ta‘ala menerima taubatnya. Abu Ad-Darda' ra berkata, "Jika saudaramu berubah, maka engkau jangan meninggalkannya karena hal tersebut, karena saudaramu itu terkadang menyimpang, namun pada kesempatan lain ia berada di atas jalan yang lurus."

6.  Memenuhi hak ukhuwwah (persaudaraan) dengan menguatkannya dan mempertahankan perjanjiannya, karena memutus ukhuwwah itu membatalkan pahala ukhuwwah. Jika ia meninggal dunia, ia mentransfer hubungan ukhuwwah ini kepada anak-anaknya, dan sahabat-sahabat yang setia kepadanya untuk menjaga ukhuwwah, dan setia kepada saudaranya. Rasulullah saw. memuliakan wanita tua, kemudian beliau ditanya tentang sikapnya tersebut, maka beliau bersabda, "Sesungguhnya wanita tua ini dulu sering datang kepada kami semasa Khadijah masih hidup, dan sesungguhnya memuliakan janji adalah bagian dan agama." (Diriwayatkan Al-Hakim dan ia men-shahih-kan hadits ini).

Di antara bentuk kesetiaan kepada ukhuwwah ialah ia tidak boleh bersahabat dengan musuh saudaranya, karena Imam Syafi'i Rahimahullah berkata, "Jika temanmu mentaati musuhmu, maka keduanya terlibat dalam permusuhan denganmu."

7. Tidak menyuruh saudaranya dengan sesuatu yang tidak mampu ia kerjakan, dan tidak ia senangi. Ia tidak boleh bergantung dengan harta atau jabatan saudaranya, dan tidak menyuruhnya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan, karena asas ukhuwwah ialah karena Allah Ta‘ala. Oleh karena itu, ukhuwwah ini tidak boleh diubah kepada selain Allah, misalnya untuk menarik rnanfaat dunia, atau menolak madharat dunia. Sebagaimana tidak menyuruhnya dengan sesuatu yang tidak mampu ia kerjakan, dan juga tidak boleh mengkondisikan saudaranya menyuruh dirinya mengerjakan sesuatu yang tidak mampu ia kerjakan, karena hal ini merusak ukhuwwah dan mengurangi pahala yang keduanya harapkan dari ukhuwwah. Ia bersama saudaranya harus membuang sikap pembebanan yang tidak proporsional, karena cara seperti itu menghasilkan sikap jalang yang bertentangan dengan persatuan. Disebutkan dalam atsar, "Aku, dan orang-orang bertakwa dan umat berlepas diri dari pembebanan yang tidak proporsional."

8. Mendoakan saudaranya, anak-anaknya, dan apa saja yang terkait dengannya sebagaimana ia senang mendoakan dirinya, anak-anak kandungnya, dan apa saja yang terkait dengannya, sebab seseorang tidak berbeda dengan saudaranya karena persaudaran telah menyatukan keduanya. Oleb karena itu, ia harus mendoakan saudaranya baik dalam keadaan hidup, atau mati, atau tidak ada di tempat, atau berada di tempat. Rasulullah saw. bersabda,

"Jika seseorang mendoakan saudaranya tanpa sepengetahuannya, maka malaikat berkata, ‘Engkau juga mendapatkannya'." (Diriwayatkan Muslim).

Salah seorang dari orang-orang shalih berkata, "Mana perumpamaan seorang saudara yang shalih? Jika salah satu keluarga seseorang meninggal dunia, maka keluarganya pasti membagi-bagi warisannya, dan mereka menikmati harta peninggalannya. Sedang saudaranya yang shalih, ia berduka sendirian, memikirkan apa yang telah dipersembahkan saudaranya kepadanya, mendoakannya di kegelapan malam, dan memintakan ampunan untuknya sementara ia berada di bawah bintang-bintang."

Sumber: Diadaptasi dari Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim atau Ensiklopedi Muslim
http/www.muslimdaily.net

Kamis, 15 April 2010

Nasehat Ibrahim bin adham ke Pada Penduduk Basrah

Suatu ketika Ibrahim bin Adham, seorang alim yang terkenal zuhud dan wara'nya, melewati pasar yang ramai. Selang beberapa saat beliau pun dikerumuni banyak orang yang ingin minta nasehat.
----------

Sabili No.1 Th.IX

Suatu ketika Ibrahim bin Adham, seorang alim yang terkenal zuhud dan wara'nya, melewati pasar yang ramai. Selang beberapa saat beliau pun dikerumuni banyak orang yang ingin minta nasehat. Salah seorang di antara mereka bertanya, "Wahai Guru! Allah telah berjanji dalam kitab-Nya bahwa Dia akan mengabulkan doa hamba-Nya. Kami telah berdoa setiap hari, siang dan malam, tapi mengapa sampai saat ini doa kami tidak dikabulkan?"

Ibrahim bin Adham diam sejenak lalu berkata, "Saudara sekalian. Ada sepuluh hal yang menyebabkan doa kalian tidak dijawab oleh Allah. 

Pertama, kalian mengenal Allah, namun tidak menunaikan hak-hak-Nya.

Kedua, kalian membaca Al-Quran, tapi kalian tidak mau mengamalkan isinya.
   
Ketiga, kalian mengakui bahwa iblis adalah musuh yang sangat nyata, namun dengan suka hati kalian mengikuti jejak dan perintahnya.

Keempat, kalian mengaku mencintai Rasulullah, tetapi kalian suka meninggalkan ajaran dan sunnahnya. 

Kelima, kalian sangat menginginkan surga, tapi kalian tak pernah melakukan amalan ahli surga. 

Keenam, kalian takut dimasukkan ke dalam neraka, namun kalian dengan senangnya sibuk dengan perbuatan ahli neraka.

Ketujuh, kalian mengaku bahwa kematian pasti datang, namun tidak pernah mempersiapkan bekal untuk menghadapinya.

Kedelapan, kalian sibuk mencari aib orang lain dan melupakan cacat dan kekurangan kalian sendiri. 

Kesembilan, kalian setiap hari memakan rezeki Allah, tapi kalian lupa mensyukuri nikmat-Nya. 

Kesepuluh, kalian sering mengantar jenazah ke kubur, tapi tidak pernah menyadari bahwa kalian akan mengalami hal yang serupa."

Setelah mendengar nasehat itu, orang-orang itu menangis.

Dalam kesempatan lain Ibrahim kelihatan murung lalu menangis, padahal tidak terjadi apa-apa. Seseorang bertanya kepadanya. Ibrahim menjawab, "Saya melihat kubur yang akan saya tempati kelak sangat mengerikan, sedangkan saya belum mendapatkan penangkalnya. Saya melihat perjalanan di akhirat yang begitu jauh, sementara saya belum punya bekal apa-apa. Serta saya melihat Allah mengadili semua makhluk di Padang Mahsyar, sementara saya belum mempunyai alasan yang kuat untuk mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan saya selama hidup di dunia."