Sabtu, 13 Februari 2010

antara i'tiba dan taklid



Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (al-Isra’:36)
Salah satu karunia yang telah diberikan oleh Allah kepada manusia adalah karunia akal. Dengan menggunakan akal ini manusia bisa mengenali kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan. Dengan menggunakan akal pula manusia memaham kebenaran dan kekeliruan.

Namun akal bukanlah karunia tertinggi yang diberikan oleh Allah. Di atas karunia akal ini ada karunia yang lebih besar lagi, yaitu karunia wahyu. Memang wahyu tidak diturunkan kepada setiap manusia. Wahyu hanya diturunkan kepada Nabi dan Rasul saja, tetapi mereka berkewajiban menyampaikan wahyu tersebut kepada segenap manusia. Sedangkan manusia yang lainnya berkewajiban mengimani rasul dan wahyu yang diturunkan kepada mereka.
Wahyu adalah nikmat tertinggi sebab wahyu terbebas dari kekeliruan. Sedangkan akal tak jarang mengalami berbagai kesalahan dan kekeliruan, karena keterbatasannya. Inilah sebabnya setiap manusia harus mempercayai dan mengimani wahyu yang turun kepada nabi.
Memang wahyu yang diturunkan oleh Allah sering kali tidak menjelaskan persoalan yang operasional. Demikianlah wahyu diturunkan agar up to date, ia emberikan pengarahan secara umum dan global. Mislanya dalam berpakaian, wahyu hanya menjelaskan kewajiban menutup aurat. Adapun mode dan lain-lainnya dikembalikan kepada manusia.
Di sinilah akal manusia berperan dalam memahami pesan di dalam wahyu. Wahyu sebagai salah satu sumber ilmu harus difahami baik-baik. Dan berdasarkan kepada makna umum di dalam wahyu, akal bisa memerincikannya berdasarkan kepada kebutuhan operasional yang dapat diamatinya dari kenyataan harian di dalam kehdiupannya.
Allah swt melarang manusia melakukan suatu tindakan tanpa dasar pengetahuan. Pengetahuan tersebut bisa pengetahuan wahyu, bisa juga pengetahuan realitas. Orang yang mengabaikan pengetahuan wahyu akan tersesat di akhirat, sedangkan orang yang mengabikan pengeahuan realitas bisa celaka di dunia. Sebagai ilustrasi, seseorang diserahi untuk membersihkan komputer, jika kemudian cara membersihkannya itu dengan dicuci sebagaimana mencuci pakaian, maka tentu akan mengalami kerusakan yang fatal. Ini sekedar contoh tindakan yang tidak didasari pengetahuan akan mengakibatkan kehancuran.
Yang lebih penting dari ini, adalah kewajiban menyukuri nikmat agama dengan ilmu. Menyukuri nikmat agama dilakukan dengan memegangi dan menjalankan konsekuensi beragama. Tetapi hal itu tidak cukup hanya dengan kebiasaan-kebiasaan tanpa pengetahuan. Dalam menjalankan ajaran agama, manusia akan bisa mekukannya dengan baik apabila dia memiliki pengetahuan agama. Jika tidak mengetahui, bisa jadi bukan ajaran agama tetapi dia aku sebagai ajaran agama.
Mengikuti agama yang tidak dilandasi dengan pengetahuan dinamakan dengan taqlid. Para ulama mendefinisikan taqlid dengan, ”Mengikuti perkataan orang lain tanpa mengetahui dasar .”
Celaan Terhadap Taqlid
Allah swt telah mencela kebiasaan taqlid dalam Kitab-Nya, di antaranya melalui firmanNya.
Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai rabb selain Allah” [AtTaubah :31]
Ketika Adi bin Hatim ra mendengar Rasulullah saw membaca ayat ini maka dia mengatakan, “Wahai Rasulullah, kami dulu tidak menjadikan mereka sebagai rabb rabb.” Rasulullah saw bersabda, “Ya, Bukankah jika mereka halalkan kepada kalian apa yang diharamkan atas kalian maka kalian juga menghalalkannya, dan jika mereka haramkan apa yang dihalalkan atas kalian maka kalian juga mengharamkannya?” Adi ra berkata, “Ya.” Rasulullah saw bersabda, “ltulah peribadatan kepada mereka” [HR at-Tirmidzi]
Hadits Adi bin hatim menunjukkan bahwa bertaqlid kepada seseorang sama dengan menuhankan orang tersebut. Selain itu Allah swt berfirman.
Dan demikianlah, Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka.” (Rasul itu) berkata: ‘Apakah (kamu akan mengikutinyajuga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petunjuk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya” [Az-Zukhruf : 23-24]
lbnu Abdil Barr rh berkata, “Karena mereka taqlid kepada bapak-bapak mereka maka mereka tidak mau mengikuti petunjuk para Rasul”
Allah menyifati orang-orang yang taqlid dengan firman-Nya.
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-arang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa pun” [Al-Anfal : 22]
“ Ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dan orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa; dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus sama sekali” [Al-Baqarah : 166]
Ayat-ayat tersebut menerangkan betapa bahanya mengikuti orang tanpa mengetahui dasarnya. Apabila yang diikuti itu ternyata dalam masalah kemungkaran, maka ia akan berakibat pada kerugiaan di akhirat.
Sikap Para Imam terhadap Taqlid
Para imam ahli fiqh dan ahli ilmu sangat memahami celaan Allah ini. Mereka pun khawatir kalau umat islam yang mengikutinya menjadikannya sebagai tuhan-tuhan baru selain dari Allah, sebagaimana kaum Ahli kitab telah menjadikan pendeta mereka sebagai tuhan selain Allah. Karena itu mereka melarang umat islam untuk taqlid kepadanya, dan menganjurkan untuk beritiba’; marilah kita perhatikan perkataan mereka dalam masalah ini
Al-Imam Abu Hanifah berkata, “Tidak halal atas seorangpun mengambil perkataan kami selama dia tidak tahu dari mana kami mengambilnya” Dalam riwayat lain beliau berkata, “Orang yang tidak tahu dalilku, haram atasnya berfatwa dengan perkataanku”
Al-Imam Malik berkata : “Sesungguhnya aku adalah manusia yang bisa benar dan keliru. Lihatlah pendapatku, setiap yang sesuai dengan Kitab dan Sunnah maka ambillah, dan setiap yang tidak sesual dengan Kitab dan Sunnah maka tinggalkanlah”.
Al-Imam Asy-Syafi’i berkata, “Jika kalian menjumpai sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam , ittiba’lah kepadanya, janganlah kalian menoleh kepada perkataan siapapun”
Beliau juga berkata, “Setiap yang aku katakan, kemudian ada hadits shahih yang menyelisihinya, maka hadits Nabi , lebih utama untuk diikuti. Janganlah kalian taqlid kepadaku”.
Al-Imam Ahmad berkata, “Janganlah.engkau taqlid dalam agamamu kepada seorangpun dari mereka, apa yang datang dari Nabi dan para sahabatnya ambillah” Beliau juga berkata, “Ittiba’ adalah jika seseorang mengikuti apa yang datang dari Nabi saw dan para sahabatnya”
Tidak Adakah Ruang untuk Taqlid
Memang larangan taqlid ini sesungguhnya tidak mutlak. Secara jujur harus dikemukakan bahwa ada taqlid yang haram dan ada taqlid yang boleh (mubah) Taqlid yang diharamkan oleh syar’i terbagi menjadi tiga jenis:
[a]. Taqlid kepada perkataan nenek moyang sehingga berpaling dari apa yang diturunkan Allah.
[b]. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui bahwa dia pantas diambil perkataannya.
[c]. Taqlid kepada perkataan seseorang setelah tegak argumen dan dalil yang
menyelisihi perkataannya.
Allah swt telah mencela tiga macam taqlid ini di dalam ayat-ayat yang banyak sekali dalam Kitab-Nya sebagaimana telah kita sebutkan pada uraian di atas.
Adapun taqlid yang dibolehkan, adalah taqlid dalam keadaan darurat, karena seseorang tidak memiliki pengetahuan dan tida cukup waktu untuk menguasai pengetahuaannya, maka ia boleh mengikuti orang yang shalih, berdasarkan firman Allah
Maka bertanyalah kepada ahlu dzikri (orang yang mengetahui) jika kalian tidak mengetahui (an-Nahl:43)
Ahludz dzikr adalah ahlul ilmi, yaitu orang yang menguasai ilmu al-Qur’an dan hadits. Ayat itu bisa juga difahami, agar seseorang menanyakan persoalan kepada orang yang memahami ilmu al-Qur’an dan hadits, tidak sekedar suka taqlid dan ikut-ikutan.
Meskipun ada ulama’ yang membolehkan dalam keadaan darurat, tidak semestinya kita mencukupkan diri dengan bertaqlid selama kita masih memiliki waktu untuk memahami ilmunya. Karena itu, ketika menanyakan sesuatu persoalan kepada ahludz-dzikr, semestinya juga kita menanyakan dasar pendapatnya agar kita bisa berittiba’, bukan bertaqlid.
Mengikuti Manhaj bukan Taqlid
Ada segolongan kaum muslimin, karena mati-matian membela kebolehan taqlid, bahkan kewajiban taqlid, lalu mereka mengatakan bahwa kalaupun tidak mengikuti pendapat ulama’ secara langsung, tetapi toh dalam memahami ayat al-Qur’an dan hadits juga taqlid kepada ulama’. Dikatakan demikian, karena banyak cara memahami ayat atau hadits, maka dengan mengikuti cara memahaminya lalu mereka sebut sebagai taqlid. Demikian juga dalam menentukan hadis shahih atau dla’if juga taqlid kepada ulama’ sebelumnya.
Metode memahami dalil antara satu imam dengan imam lain memang berbeda. Tetapi mengikuti satu metode dari salah satu imam, dengan memahami dalil pengambilan kesimpulan bukanlah taqlid. Itulah ittiba’. Para ulama’ menjelaskan arti ittiba’, yaitu; mengikuti pendapat orang lain dengan memahami dasar pengambilan pendapat itu, baik dari ayat al-Qur’an maupun hadits nabi saw.
Justru dari sini nampaklah kebatilan pemahaman orang yang menjadikan taqlid sebagai ittiba’, mengaburkannya dan mencampuradukkan antara keduanya, bahkan taqlid menyelisihi ittiba’. Alloh dan Rasul-Nya telah memilahkan antara keduanya demikian juga para ulama(abah_zacky@wordpress)

1 komentar:

  1. Assalamu'alaikum. artikel yang bagus. tapi setau ana Bukan I'tiba.. tapi Ittiba'

    BalasHapus